Powered By Blogger

Sabtu, 19 Mei 2012

Artikel Kesehatan


Senin, 30 April 2012 04:25
Risqa Rina Darwita, Guru Besar UI Penggagas Penyuluh Gigi dan Mulut
Berkat gagasannya mengoptimalkan peran kader posyandu menjadi penyuluh gigi dan mulut, Risqa Rina Darwita meraih gelar guru besar di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UI. Banyak warga yang merasa terbantu oleh kehadiran para kader posyandu itu.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
RISQA Rina Darwita awalnya cukup lantang dan tegas ketika berpidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan FKG Universitas Indonesia Sabtu pekan lalu (21/4). Namun, di pengujung pidato yang berisi ucapan terima kasih, tiba-tiba ibu satu anak itu tidak bisa membendung perasaan haru yang dalam.
Di hadapan ratusan undangan yang memadati Balai Sidang UI, dia menangis sesenggukan. Tangis Risqa semakin menjadi-jadi ketika dia membaca ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk dua orang tuanya, alm H Bahdar Djohan Tafal dan Hj Rosna Lela.  “Beliau selalu mengajar saya untuk tidak meninggalkan salat lima waktu,” tutur perempuan kelahiran Padang, 13 Maret 1960, itu.
Setelah upacara pengukuhan, Risqa menyalami seluruh kolega dan saudaranya. Saking banyaknya, acara salam-salaman plus foto-foto bareng itu memakan waktu sekitar satu jam. “Maaf sudah menunggu lama ya,” kata Risqa yang masih mengenakan toga lengkap menyapa Jawa Pos (Grup Pasundan Ekspres).
Istri Prof Bambang Sugiarto itu menjelaskan, sebelum mendapatkan gelar guru besar, dirinya melakukan penelitian sekaligus pendampingan terhadap kader-kader posyandu. Tidak tanggung-tanggung, dia menjalankan itu semua selama dua tahun. Kader posyandu yang dia dampingi berperan ganda sebagai penyuluh kesehatan gigi dan mulut itu, antara lain, tersebar di Kota Depok dan Serpong, Tangerang Selatan.
Risqa menyatakan prihatin karena sampai saat ini rata-rata sosialisasi atau gerakan kader posyandu masih berkutat hanya pada urusan menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, dan pemberian makanan tambahan kepada balita. Kegiatan itu masuk ranah kesehatan umum.
Menurut ibu Hana Witsqa itu, aktivitas tersebut tidak salah karena tingkat kematian bayi atau balita karena gizi buruk di Indonesia masih tinggi. “Tapi jangan salah, urusan karies gigi pada balita juga penting,” kata tamatan School of Madicine Hokkaido University, Jepang, itu.
Penyakit gangguan gigi susu yang disebabkan kolonisasi dini bakteri streptococcus mutans itu, kata Risqa, juga berpengaruh besar kepada pemenuhan gizi balita. Sebab, rata-rata balita yang terserang karies gigi sulit makan karena merasa sakit saat mengunyah makanan. Para balita yang gigi susunya sudah menghitam dan tinggal sedikit biasanya lebih doyan makanan ringan (snack) ketimbang makanan berat yang mengandung gizi tinggi. Makanan ringan tidak harus dikunyah secara kuat untuk memakannya.
Risiko gizi buruk bagi bayi atau balita yang giginya gigis juga bisa disebabkan makanan yang tidak sempurna dalam pengunyahannya. “Bagaimana mau sempurna saat mengunyah kalau giginya habis,” kata perempuan yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai peneliti muda LIPI itu.
Risqa menuturkan, zat gizi yang terkandung dalam makanan bisa terserap optimal apabila makanan telah hancur dengan sempurna di dalam rongga mulut. Zat gizi pada makanan yang hancur dengan sempurna ini bisa dengan mudah diserap oleh usus dua belas jari. Setelah diserap usus, gizi dibawa peredaran darah menuju hati untuk proses metabolisme. Setelah itu, zat gizi siap didistribusikan ke seluruh organ tubuh.
Karena itu, peran kader posyandu untuk menyosialisasikan pentingnya menjaga gigi balita dari ancaman karies (gigis) sangat penting. Tapi, upaya Risqa mengajak kader posyandu menjadi penyuluh gigi dan mulut tidak mulus begitu saja. Di lapangan, dia sering mendapat tanggapan kurang baik dari para kader sendiri. “Ada yang mengeluh karena peran baru itu bisa membuat mereka semakin repot urusannya,” kata lulusan SD Mujahidin Surabaya itu.
Setiap mendengar keluhan para kader posyandu, Risqa justru bertambah gemas. Sebab, dia tidak ingin kasus atau prevalensi karies gigi balita terus menggurita dan mengancam pemenuhan gizi bayi dan balita.
Meski mendapat respons negatif, Risqa tidak patah semangat. Dia tetap mengingatkan para kader posyandu terhadap pentingnya penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada ibu-ibu yang memiliki bayi dan balita. Para kader itu pun diajari beberapa teknik dasar dalam ilmu kedokteran gigi. “Biar mereka seperti dokter gigi yang sedang memeriksa pasien,” ujarnya lantas tersenyum.
Jika materi solusinya masih sedikit, Risqa meminta jajaran dinas kesehatan daerah untuk memberikan pelatihan kepada para kader posyandu. Selama ini pelatihan atau instruksi dinas kesehatan untuk kader posyandu masih terkesan konvensional. Hanya menimbang berat badan, mengukur tinggi balita, dan memberikan makanan tambahan saja.
Menurut Rizqa, banyak sekali manfaat yang bisa dipetik para kader posyandu yang berperan ganda sebagai penyuluh kesehatan gigi dan mulut. Terlebih manfaat yang dirasakan masyarakat menengah ke bawah.
“Siapa pun tahu, biaya untuk berkonsultasi atau berobat ke dokter gigi tidak murah. Karena itu, peran para penyuluh sangat penting untuk menjangkau masyarakat menengah ke bawah,” katanya.
Dalam praktiknya, para kader posyandu bisa bekerja sama dengan perawat gigi atau dokter gigi saat mengobati karies gigi pasien. Mereka juga membantu paramedis saat menangani balita yang giginya mengalami karies. Misalnya, mengoleskan SDF (larutan perak diamina fluoride) pada gigi susu yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda gigis.
Risqa kepada para orang tua berpesan agar tidak membiarkan gigi balitanya gigis. Sebab, bila anak penderita karies gigi tumbuh dewasa, semakin takut dia diajak periksa ke dokter. “Apalagi, ada yang takut saat melihat peralatan dokter gigi,” tandasnya.
Untuk itu, Risqa menyarankan agar para orang tua bisa mengobati karies gigi anaknya sedini mungkin. Selain itu,  orang tua tidak lagi menganggap karies gigi sebagai penyakit sepele. Sebab, jika tidak bergerak cepat, gizi bayi atau balita bisa terancam.
Menurut Risqa, karies gigi pada bayi dan balita bisa terjadi karena “tertular” dari orang tua sendiri. Kok bisa" Risqa menjelaskan, kebiasaan orang tua yang mengicip-icip makanan anaknya ketika akan menyuapi bisa menjadi media penularan bakteri streptococcus mutans.
Tidak tertutup kemungkinan bakteri jahat itu terbawa sendok makanan yang baru dicicipi sang ibu. Karena itu, sebaiknya orang tua tidak perlu mencicipi makanan yang akan disuapkan kepada anaknya.
Warning juga disampaikan kepada orang tua yang memasrahkan pengasuhan anak sepenuhnya kepada baby sitter. Kalau bisa, memilih baby sitter yang tidak memiliki penyakit karies gigi atau gigi berlubang. Selain itu, harus mewanti-wanti si baby sitter supaya tidak mencicip makanan yang akan disuapkan kepada bayi atau balita yang diasuh. “Jika memang ingin mengincipi, harus menggunakan sampel makanan yang terpisah. Selain itu, sendoknya harus beda,” tuturnya.(c4/ari)

http://pasundanekspres.co.id/pasundan/5628-ajak-orang-tua-perangi-gigi-gigis-balita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar